Pages

15 June 2010

Pesimisme Tekstil

Pada awal tahun 2010 ini Indonesia memasuki era baru dalam dunia perdagangan regional dengan mulai berlakunya ACFTA. Yaitu sebuah perjajnjian perdagangan antara Negara-negara asia tenggara ditambah lagi dengan china. Afta (asean, china free trade area) ini ditandangani oleh perwakilan republic Indonesia. ACFTA sendiri memuat butir-butir perjanjian tentang bidang ekonomi perdagangan. Yaitu menurunkan cost ekspor dan impor antara Negara-negara asean dan china hingga mencapai 0% pada pos-pos tertentu. Tentu saja dengan diberlakukannya acfta ini pesaingan akan semakin ketat dibidang perdagangan. Produk-produk dari luar negeri akan bebasa masuk wilayah Indonesia dan ini merupakan dua sisi mata pisau. Karena dapat kita artikan dengan masuknya prosuk-prodk tersebut akan membuat para produsen dalam negeri meningkatkan kompetisi dan kualitas produk yang dihasilkan tetapi di sisi lain ini akan menjadi boomerang untuk perekonomian indonsia jika saja para pelaku pruduksi lokal ini tidak mampu bersaing dengan barang-barang luar negeri.

Nah dari uraian di atas kita memandang dari pos tekstilnya dan celakanya sebagian besar pelaku usaha kita khususnya dari UKM (usaha kecil menengah) malah cenderung bersikap pesimisme. Bukan tanpa alas an mengapa mereka takut akan berlakunya acfta tersebut karena jikak kita telaah lebih dalam lagi, kita bias mengambil contoh dari sekitar kita yaitu di pasar baju dan tekstil. Meskipun perjanjian acfta ini baru berlaku awal tahun ini tapi kenyataannya banyak beredar produk-prooduk dari china. Entah itu lewat jalur resmi atau lewat selundupan. Nah dengan jumlah yang tidak terlalu banyakpun produk china bias menggoyahkan industry tekstil nasional karena dengan barang yang murah dan lebih variatif bentuknya masayarakat kita cenderung lebih memilih produk china tersebut. Income local kita menjadi turun dan tidak sedikit pula yang mengalami kebangkrutan. Contoh di era millennium yaitu runtuhnya TEXMACO. Yang saya tahu texmaco itu adalah sebuah perusahaan tekstil raksasa di ASIA TENGGARA. Diluar konteks masalah korupsi dan nepotisme di dalamnya ini menimbulkan suatu keresahan yang luar biasa bagi pelaku industry dalam negeri. Logikannya perusahaan yang mempunyai modal luar biasa besar saja bias bangkrut, apalagi yang memiliki modal lebih terbatas. Para pelaku usaha menjerit kepada pemerintah yang berkuasa agar acfta ini diundur tiga tahun lagi agar kita bisa mempersiapkan diri. Namun jeritan mereka diibaratkan seperti “anjing mengonggong kafilah berlalu”. Pemerintah di bidang perindustrian bergeming dan semuanya sudah terlambat kita tinggal menghadapinya saja. Dan siapa yang tahu akan nasib pertekstilan Indonesia ke depan.

Dari pesimisme di atas ternyata tidak hanya dirasakan oleh kalangan pengusaha saja karena ternyata Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat saat ini agung laksonopun mengalami kegundahan serupa. Beliau menyampaikan pendapat pada suatu acara yang intinya ikut hawatir terhadap dunia pertekstilan nasional. Hmm… karena pesimisme ini sudah menjalar ke pelaku usaha dan menteri kita, bahkan para pelajar yang berhubungan langsung dengan industry tekstil ini yaitu mahasiswa STTTekstil juga mengalami kegundahan serupa. Saya mengambil sampel dari salah satu mahasiswa dan melakukan wawancara terhadapnya. Inilah isinya :

Saya : ”sebagai mahasiswa tekstil, pendapat kamu tentang ACFTA bagaimana?”

Mahasiswa : “sebenarnaya saya sedikit takut terhadap acfta ini, kemungkinan terburuknya kan industry tekstil kita merosot dan diperkirakan banyak yang hancur, lalu kalau industrinya pada hancur saya mau kerja dimana?”


Itu adalah salah satu petikan wawancara saya dengan mahasiswa.
Fenomena ini tidak mengada-ada karena memanag inilah fakta yang terjadi. Pemerintah selaku pengusa kebijakan hendaknya menjadi motor penggerak agar rakyatnya bisa lebih optimis lagi dan mampu menjadikan Indonesia sebagai pemain utama industry tekstil dunia. Sejah ini pemerintah sudah melakukan upaya peninjauan kembali tarif 0% pada beberapa pos diantaranya pos pertekstilan nasional agar ditunda dalam mengikuti acfta. Ini merupakan kabar gembira bagi kita semua karena dengan ini ternyata pemerintah masih mau mendengar aspirasi rakyatnya. Dan kabarnya juga pemerintah akan akan merestrukturisasi alat-alat pertekstilan, menyuplai energy listrik, dan penurunan biaya pelabuhan agar ekspor meningkat.

Semoga ini menjadi awal yang baik bagi industry tekstil Indonesia.