Pages

23 March 2011

Andai Kartini Masih Hidup, Mungkin Beliau akan Protes

ESSAY
Oleh: Kukuh Puji Lestari
Jalum Kebidanan Tingkat 1
Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya




Jika anda perempuan,
Anda merasa lemah?
Anda tidak mampu melakukan pekerjaan berat?
Anda lambat dalam mengambil keputusan?
Anda merasa terancam dengan kehidupan di luar sana?
Anda single parent?
Anda korban KDRT?
Tenanglah, tidak hanya anda yang merasakan hal seperti itu, di luar sana berjuta-juta perempuan merasakan hal yang sama seperti anda, tengah meronta – ronta meminta pertolongan kepada lingkungan sekitarnya. Ada
korban berarti ada pahlawan, ada wanita tertindas berarti ada kaum feminis yang menggembar-gemborkan

16 March 2011

Baca AL-QUR'AN yu'

Baca Al-Qur'an yu'.

sesibuk apapun kegiatan duniawi yang kita lakukan, sebagai muslim kita wajib untuk beribadah kepada ALLAH. di artikel ini saya ingin berbagi, dan diambil dari beberapa referensi yang saya sebutkan di bawah artikel.

semoga kita menjadi orang yang selalu dalam lindungan ALLAH SWT. selamat Dunia akhirat. amin.
dalam Membaca Kitab suci ada beberapa pedoman yang biasa dilakukan atau bahkan sangat dianjurkan (read " wajib). berikut beberapa uraiannya :
Tips Imam Nawawi
Imam Nawawi --dikenal pula dengan nama al-Hafiz Muhyiddin an-Nawawi-- dilahirkan di Nawa, Damaskus, Suriah, pada Oktober 1233 M/631 H. Ia seorang syekh Islam yang banyak menulis buku, ahli hadits, fiqih, dan bahasa. Ia juga dikenal sebagai mujtahid yang sibuk dengan kegiatan mu

02 March 2011

Dinamika Fatwa

Islam merupakan agama yang syamil mutakamil. Sejalan dengan ayat Al-Qur’an yang terakhir turun, “…Hari ini telah Kusempurnakan agamamu bagimu,. Aku cukupkan nikmatku untukmu dan Aku Ridhai Islam sebagai agamamu…” (QS. Al-Maidah : 3), Islam didesain oleh Allah SWT untuk mampu menjawab segala problematika dan tantangan zaman. Al-Islam huwal Hallu; Islam adalah solusi.

Karena itulah sumber hukum Islam bukan hanya Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ada sumber hukum lain di bawah keduanya, yakni ijtihad. Jika Al-Qur’an dan As-Sunnah sudah pasti dan berlaku kekal sampai akhir zaman, maka ijtihad cukup dinamis untuk merespon permasalahan-permasalahan kekinian. Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan wahyu yang dianugerahkan Allah sebagai petunjuk bagi orang beriman. Namun ijtihad mengambil dari keduanya untuk menjawab segala persoalan yang datang kemudian.

Di dalam syariat ada hal-hal yang bersifat tetap atau permanen (tsawabit) dan ada yang berubah atau fleksibel (mutaghayyirat). Di antara hal yang bersifat tsawabit adalah aqidah, pokok-pokok ibadah, pokok-pokok larangan, dan pokok-pokok akhlaq. Pada ranah ini tidak ada ijtihad. Sedangkan hal-hal yang bersifat tsawabit misalnya masalah fiqih. Di sinilah letak keistimewaan Islam. Sekaligus di sinilah jawaban bagi orang-orang sekuler seperti Kemal Ataturk yang mengatakan: “Kehidupan senantiasa berubah sedangkan syariat tetap. Bagaimana mungkin kita bisa menghukumi kehidupan yang berubah dengan hukum-hukum syariat yang tetap?”

Di antara bentuk ijtihad adalah fatwa. Berbagai pertanyaan berkenaan dengan berbagai masalah kehidupan dilontarkan kepada ulama atau mufti, baik secara lisan maupun tertulis, dan ulama atau mufti harus menjawabnya. Terlebih lagi jika tidak ada orang lain yang mampu menjawabnya selain dia, untuk saat yang dibutuhkan waktu itu. Jawaban ini tentu saja berangkat dari ijtihad. Dengan demikian, fatwa muncul untuk merespon realita.

Para ulama’ telah menjelaskan bahwa fatwa bisa berubah. Karenanya kita dapati para ulama’ (bahkan Rasulullah) pernah memberikan fatwa yang berbeda untuk permasalahan yang sama. Lebih jauh bahkan Imam Syafi’i memiliki kumpulan fatwa baru (qaul jadid) yang berbeda dari fatwa-fatwa lama (qaul qadim). Faktor yang mempengaruhi perubahan fatwa itu adalah: perubahan tempat, perubahan waktu, perubahan kondisi, dan perubahan tradisi (‘urf).

Selain faktor hal di atas, melalui buku ini Dr. Yusuf Qaradhawi menambahkan enam faktor lagi: perubahan informasi (maklumat), perubahan kebutuhan manusia, perubahan kemampuan manusia, perubahan kondisi sosial ekonomi politik, perubahan pendapat dan pemikiran, serta musibah (ujian dan cobaan). Jadilah semuanya 10 faktor pengubah fatwa.

Perubahan Tempat

Lingkungan bisa mempengaruhi pemikiran dan tingkah laku. Karenanya para ulama’ menjadikan perubahan tempat sebagai salah satu faktor perubahan fatwa. Artinya, dalam satu masalah yang sama bisa berbeda fatwa karena subyeknya berbeda tempat/lingkungan. Di antaranya :

Antara badui dan kota

Orang badui yang masuk Islam diharuskan hijrah ke kota untuk mencari ilmu dan mengenal peradaban. Fatwa hijrah ini tidak untuk orang kota. Sebagian ahli fiqih melarang kesaksian badui atas orang kota karena ketidaktahuan mereka bisa berdampak negatif.

Negara bersuhu panas dan negara bersuhu dingin

Karena ini menentukan perbedaan kebutuhan hidup dan tingkat emosi. Penduduk negeri bersuhu panas biasanya lebih kasar dan cepat marah dibandingkan penduduk negeri bersuhu dingin.

Perubahan tempat oleh perubahan iklim

Ini berkaitan dengan curah hujan yang bisa menghalangi keluar rumah dan terkait dengan banyak ibadah seperti shalat jamaah, wudhu, tayamum, dan sebagainya.

Perubahan tempat bagi negeri Islam dan lainnya

Fatwa bisa berbeda karena status negeri itu; apakah negeri perang (darul harb), negeri yang terikat perjanjian (darul ‘ahd), atau negeri kafir (dar kufr). Orang Islam yang tinggal di negeri lain, tuntutan ilmu syar’i-nya lebih ringan dari kaum muslimin di negeri Islam karena hambatan yang ada tidak memungkinkannya mempelajari itu semua.

Perubahan Waktu

Yang dimaksudkan di sini bukan berubahnya fatwa karena perubahan tahun. Tetapi konteks pada waktu tersebut.

Pada zaman Rasulullah, hukuman bagi orang yang minum khamr tidak memiliki batasan tertentu, tetapi diterapkan dengan ta’zir. Pada masa Abu Bakar hukuman ditetapkan menjadi 40 kali cambukan. Karena banyak orang yang berani mabuk, Umar menetapkan 80 kali cambukan, disetarakan dengan pencemaran nama baik. Dan ini yang paling ringan.

Untuk kejahatan perkosaan Yusuf Qaradhawi mendukung fatwa ulama Saudi yang memutuskan hukuman mati. Karena, ia bisa mencegah orang yang selalu menodai kehormatan.

Begitupun melihat perubahan waktu yang semakin buruk saja akhlaq manusia. Yusuf Qaradhawi memfatwakan hukuman bagi pengedar narkoba sama dengan hukuman membegal (al-harabah), yakni pada surat Al-Maidah ayat 33.

Perubahan Kondisi

Kondisi sempit tidak sama dengan kondisi lapang, kondisi sakit tidak sama dengan kondisi sehat, kondisi bepergian tidak sama dengan kondisi mukim, kondisi perang tidak sama dengan kondisi damai, kondisi takut tidak sama dengan kondisi aman, kondisi kuat tidak sama dengan kondisi lemah, kondisi tua tidak sama dengan kondisi muda, kondisi buta huruf tidak sama dengan kondisi bisa baca-tulis. Mufti yang bijak memperhatikan kondisi-kondisi seperti ini.

Karenanya fatwa izin perang Rasulullah berbeda antara sebelum dan sesudah hijrah. Demikian pula fatwa Ibnu Abbas tentang taubatnya orang yang membunuh. Sebelumnya ia mengatakan taubatnya bisa diterima. Tetapi hari itu saat ada orang bertanya ia menjawab tidak diterima taubatnya. Ketika murid-muridnya bertanya ia menjelaskan: “Karena orang tadi hendak membunuh orang muslim.” Jika saja ia diberi fatwa taubatnya bisa diterima ia tentu akan melaksanakan niat di balik kemarahannya itu.

Perubahan Tradisi

Di antara faktor perubahan fatwa adalah perubahan tradisi yang menjadi pijakan fatwa sebelumnya. Contohnya dalam tradisi perdagangan dan ekonomi. Jika kita membayangkan “menggenggam” (al-qabdh) sebagaimana dijelaskan oleh para ahli fiqih, yaitu dari tangan ke tangan, kita pasti akan mengharamkan cek. Begitupun bolehnya akad melalui telepon, internet, faksimil, dan lain-lain yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan. Akad sebelumnya terbatasi dengan pertemuan langsung antara penjual dan pembeli.

Perubahan Pengetahuan

Perubahan ini bisa terjadi pada pengetahuan syar’i maupun non syar’i. Pengetahuan syar’i misalnya seorang mufti yang mengetahui derajat hadits yang berbeda dari sebelumnya. Sementara pengetahuan non syar’i misalnya seorang ulama telah mengetahui bahaya rokok yang sebelumnya belum ia ketahui, karenanya ia mengubah fatwanya dari makruh menjadi haram.

Perubahan Kebutuhan Manusia

Misalnya di zaman sekarang, di daerah-daerah panas, AC menjadi kebutuhan primer. Karenanya ia otomatis menjadi pengurang nishab zakat seperti kebutuhan primer lainnya. Sebab nishab zakat merupakan hal lebih dari kebutuhan pokok. Begitupun laptop bagi guru tidak sama tingkat kebutuhannya dengan laptop bagi petani seperti traktor yang menjadi kebalikannya. Ini terkait dengan zakat.

Begitupun hukum memelihara anjing, kurikulum pendidikan, membeli rumah melalui bank, dan sebagainya. Fatwa tentang itu bisa berubah seiring perubahan kebutuhan manusia.

Perubahan Kemampuan Manusia

Sekarang ilmu kedokteran telah mampu mencangkok organ tubuh manusia. Dulu tidak pernah terbayangkan. Perubahan kemampuan menyebabkan perubahan dalam hukum. Begitupun dengan pulang bepergian pada waktu malam. Dulu dilarang oleh hadits karena bisa mengagetkan, istri butuh persiapan, dan lain-lain. Sekarang dengan teknologi HP dan sejenisnya, kita bisa memberi kabar kepulangan kita sehingga tidak masalah jika pulang waktu malam.

Perubahan Situasi Sosial, Ekonomi, dan Politik

Ini juga bisa mengubah fatwa. Misalnya sekarang banyak masyarakat non muslim dalam lingkungan masyarakat Islam. Kita harus melihat permasalahan non-muslim dan wanita dengan pandangan baru. Kita harus mengambil fiqih yang taisir (memudahkan), fiqih yang tadarruj (gradualitas) dalam segala hal, untuk kemudian memperhatikan perubahan-perubahan kondisi.

Seperti juga ketika kondisi politik tidak menguntungkan kaum muslimin dengan berkuasanya rezim otoriter yang memusuhi Islam. Pada kondisi saat itu jika seorang ulama diminta fatwa secara terbuka ia perlu memikirkan akibat fatwa itu bagi umat Islam. Jangan sampai karena fatwanya kondisi umat Islam justru terancam dan gerakan dakwah Islam diberangus.

Perubahan Pendapat dan Pemikiran

Terkadang, ilmu pengetahuan tidak berubah tetapi pemikiran seorang mujtahid bisa berubah. Hal tersebut berdasarkan penelitiannya, perenungan, evaluasi terhadap hal yang sedang dipelajari atau fatwa sebelumnya, sehingga bisa menguak hal yang tersembunyi dan menampakkan hal yang samar.

Ujian dan Cobaan

Maksudnya adalah ujian dan cobaan umum/publik. Para ahli fiqih menjadikan ujian dan cobaan sebagai hal yang dapat memberi keringanan. Seperti televisi, misalnya. Ada yang mengharamkannya karena televisi memuat gambar. Tapi jika tidak melihat televisi umat justru kehilangan banyak informasi dan tertinggal. Begitupun dengan wanita yang keluar rumah karena bekerja, beraktivitas sosial dan sebagainya. Perlu untuk tidak lagi berkutat pada ungkapan lama bahwa wanita diciptakan untuk di rumah dan menjadi permaisuri di dalamnya. Ini karena kondisi umum, ujian dan cobaan yang menimpa umat Islam. (Muchlisin)


sumber :http://www.dakwatuna.com/2010/faktor-faktor-pengubah-fatwa/

01 March 2011

Inilah Kode Etik Mengapa IPB Tidak Perlu Umumkan Penelitian Susu Berbakteri Sakazaki

ini adalah semata-mata sebagai sarana memperluas informasi, saya mencopy artikel ini dan menyebutkan sumbernya di bawah.


Mungkin kita masih bertanya-tanya seoalah masih belum puas, mengapa IPB bersikukuh pada posisinya, yakni Berdiam tanpa memberikan jawaban atas tuntutan masyarakat hingga saat ini. saya rasa, hingga kapanpun, IPB tidak akan mengungkapkan hasil penelitian tersebut di depan Publik. Alasannya, kembali pada etika Penelitian. Kita mungkin masih bingung dengan apa etika penelitian yang di maksud. memahami pertanyaan yang pasti muncul di setiap kalangan mahasiswa tersebut, maka kembali Pak Arya Hadi Dharmawan menulis dalam catatan Facebooknya mengenai etika tersebut. dibawah ini saya kutip hasil dari tulisan tersebut. silahkan disimak, baca dengan seksama, dan pastikan setelah membaca tulisan tersebut kita bisa menjelaskan, bahwa IPB berada dalam posisi yang benar.

Tekanan dan Gugatan Terhadap IPB: Etika Penelitian, Batas Kewenangan, & Akuntabilitas Publik

Oleh :

Arya Hadi Dharmawan

Asslm

wr wb dan salam sejahtera,

Para mahasiswa IPB dan rekan-rekan sekalian, sebagaimana beberapa waktu yang lalu pernah saya sampaikan, beraktivitas-riset ilmiah itu ada kode etiknya. Siapapun orang sekolahan yang penah menyusun skripsi, pasti paham kode-etik penel

itian itu apa. Adalah benar bahwa kita perlu mengedepankan etika-transparansi kepada publik atas apa yang ditemukan. Namun, pada saat yang sama kita juga harus memegang etika

kehati-hatian. Sebagai orang yang cerdas, kita harus pandai memperkirakan dampak yang ditimbulkan, bila “demi transparansi” kita semaunya mempublikasikan sesuatu ke publik yang bisa berbuah keresahan dan ditingkahi kekerasan. Bahkan bakar-bakaran, anarkhis, seperti yg sudah kita sering lihat di berita-berita di TV-TV. Kita (ilmuwan dan civitas IPB) bukanlah orang-orang yang gegabah dan hidup bak di jaman jahiliyah yg sesukanya mengumbar wacana tanpa antisipasi jangka panjang. Kita bukan bagian peradaban yg sering dipertontonkan oleh pihak-pihak tertentu yang suka sensasi dan bertindak semaunya bak “pahlawan kesiangan” (silakan saksikan di media TV-TV dan surat kabar) itu. Kita di IPB adalah orang-orang yang tahu menempatkan diri. Kita tahu bilaka

h saatnya berbicara dan bilakah harus diam.

Jikalau penelitian itu pesanan dari dan untuk pemerintah, maka hasilnya dan publikasinya pun haruslah diserahkan kepada pemerintah bukan kepada publik. Bila riset itu untuk keperluan skripsi, tesis, dan disertasi, maka publikasinya di perpustakaan dan jurnal ilmiah. Bayangkan bila setiap

hasil riset skripsi, tesis, disertasi mahasiswa IPB, harus selalu dipublikasikan di koran dan TV, betapa semrawutnya informasi di negeri ini. Dalam hal riset tentang kontaminasi bakteri E. Sakazakii pada sejumlah merk susu bubuk formula yang gempar (atau ”sengaja digemparkan” di awal Februari 2011 di TV-TV nasional itu), maka posisi IPB, menurut saya, sudah benar untuk tidak membuka hasil riset (tentang merk apa saja yang terkontaminasi) tersebut ke publik. Dalam hal ini, etika transparansi dipadukan dengan etika kehati-hatian serta etika konfidensialitas (kerahasiaan dalam riset = bukan berarti selalu berkonotasi negatif), menghasilkan publikasi terbatas kepada pemerintah (dengan harapan pemerintah yang take action selanjutnya). Sampai titik ini etika akuntabilitas ditunaikan oleh IPB. Lalu mengapa IPB terus dihujat? Apakah dengan publikasi terbatas, IPB telah mengabaikan kepentingan publik (ibu-ibu yg memiliki balita pengonsumsi susu formula?). Jawabannya, tidak sama sekali, IPB tetap memegang teguh etika tanggung-jawab publik dengan mengkomunikasikannya bersama pemerintah.

Setahu saya, segera setelah penemuan itu, IPB segera melaporkan temuannya kepada pemerintah, agar pemerintah (otoritas kesehatan masyarakat) menindaklanjuti hasil temuan riset tersebut, demi menyelamatkan publik (pemerintah adalah lembaga yang memegang kewenangan di bidang regulasi kesehatan). Dan pemerintah sigap, sejak 2006 pemerintah melakukan tindakan konstruktif terhadap produsen-produsen susu formula, dan implikasinya sudah tak ada lagi kandungan bakteri tersebut di merk-merk susu formula manapun saat ini.

Lalu, bila di awal tahun 2011 atau 5 tahun kemudian, IPB diminta mengumumkan merk-merk susu formula yg 5 tahun lalu terkontaminasi bakteri itu ke media, maka untuk apa sesungguhnya semua itu? Bukankah semua sudah menjadi tidak relevan lagi? Ada motif apa dibalik semua tekanan pada IPB itu?). Spekulasi politisasi bakteri pun merebak dengan cepat dan meluas.

Saya tak ingin larut pada isyu “politisasi bakteri” ini. Saya hanya hendak melihat etika penelitian di lembaga akademik dan sains seperti IPB ini dipahami oleh publik dan semua orang termasuk mahasiswanya, agar tidak terjadi excessive expectation. Saudara-saudara sekalian, dalam hal ini, IPB sudah berada di jalur benar, yaitu IPB menganut etika ”tahu menempatkan diri” dimana peran dan fungsinya sebagai lembaga pendidikan dan riset-akademis, karenanya IPB tidak “asal umbar bicara kepada publik” tentang riset susu formula tsb. Sekali lagi, IPB bukan layaknya lembaga seperti Badan Reserse Kriminal di lembaga kepolisian – di Bareskrim pun juga ada tata-kramanya untuk menyiarkan sebuah temuan ke publik, yg berwenang menuduh pihak-pihak tertentu. Karenanya IPB tidak bisa mengumumkan apa saja dan begitu saja ke publik, lalu bahkan menghakimi pihak-pihak tertentu semaunya. Tindakan asal publikasi itu “sesat dan menyesatkan”. Civitas IPB juga bukan kumpulan orang seperti yg berada di ”pihak-pihak tertentu” yg semangatnya bak “pahlawan kesiangan” lalu bertindak sendiri-sendiri di lapangan dengan menghancurkan nama-baik siapa saja, meresahkan masyarakat, mengacaukan suasana, dan main hakim sendiri terhadap produsen dan konsumen susu formula. Harus diingat IPB adalah lembaga pendidikan dan riset, bukan pembuat regulasi di bidang kesehatan. Pun IPB bukan lembaga ”kehakiman” yang bisa menghakimi pihak-pihak tertentu semaunya. Pemerintah pun sebenarnya tidak bersalah. Ia juga telah sigap merespons hasil riset ini. Setahu saya segera setelah IPB menginformasikan kepada pemegang otoritas regulasi kesehatan atas temuannya, pemerintah mem-follow up temuan itu, dan mengingatkan para produsen susu formula untuk membersihkan dan menjamin produknya tak lagi tercemar bakteri mematikan tsb. Hasilnya, sejak 2006, bakteri itu tak lagi ditemukan di produk-produk susu formula yg dijual di pasaran. Proses tuntutan hukumnya di pengadilan saja, yang panjang sehingga baru di awal tahun 2011, isyu tersebut muncul lagi ke permukaan. Hingga titik inilah, saya hendak mengatakan bahwa sebagai lembaga pendidikan tinggi, IPB sangat tahu diri, dimana kewenangannya (sbg pengembang ilmu) dan karenanya, menyerahkan temuannya kepada pemilik kewenangan regulasi dan kebijakan, yaitu pemerintah. Sehingga, bila publik menuntut IPB harus bertindak “seolah-olah” seperti regulator dan pemilik kewenangan kebijakan (terlebih lagi bertindak over-acting seperti pihak-pihak tertentu yg amarah dan bisa semaunya mengkritik sana-sini) via publikasi hasil penelitian ke ruang publik. Jika itu dilakukan, maka itu sama saja masyarakat berharap IPB bertindak anarkhis (terhadap mandat fungsi dan perannya).

Anarkhisme itu setara dengan tindakan para kriminal yang suka bertindak melampaui batas kewenangan kepolisian dan bertindak ala “polisi” di jalanan… sekali lagi kita di IPB bukan orang-orang yang anarkhis itu…jangan paksa IPB berbuat anarkhis di bidang sains dan ilmu pengetahuan… kita kumpulan orang-orang berpikir panjang…. Biarlah setiap institusi berperan sesuai tugas dan fungsinya masing-masing, tidak saling serobot untuk pamer kekuatan. Sebagai catatan, banyak dosen IPB mempunyai riset kritis yang hasil risetnya mengungkap tentang banyaknya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di negeri ini (penyimpangan itu bisa di bidang pencemaran lingkungan hidup oleh industri, deforestasi oleh illegal logging, penghancuran laut oleh illegal fishing, praktek pelayanan publik yg buruk dan menyimpang, persaingan usaha tak sehat yang merugikan ekonomi kecil, marjinalisasi petani, konflik-konflik agraria di kawasan konservasi, eksploitasi tambang yang berujung konflik dan penghancuran hutan, dsb). Bahkan para mahasiswa IPB pun dalam skripsi, tesis, dan disertasinya juga banyak mengungkap penyimpangan-penyimpangan dan masalah-masalah menyedihkan di negeri ini. Apakah publik akan menuntut juga, semua hasil riset yg berisi inventarisasi atas penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di negeri ini harus diungkap semuanya di koran, TV, majalah, FB, Twiter, milis, dsb demi publik? Jika hal itu (publikasi hasil riset) dilakukan semaunya sesuai selera “pahlawan kesiangan”, maka rusaklah tatanan peradaban akademik di negeri ini. Inilah yang saya sebut, peneltian itu memiliki etika (tata-krama). Kita paham, bilakah kita harus menyampaikannya kepada publik, pemerintah, atau pihak otoritas lain yang pas. Karenanya, sekali lagi publik perlu paham posisi etis ini. Bila publik dan parpol (yg wakilnya duduk di Senayan) terus menekan IPB utk berbuat “melampaui batas”, maka sebenarnya mereka telah berlebihan terhadap IPB… Jangan sampai kita berkesimpulan bahwa: pantaslah negara ini tidak pernah beres, karena negeri ini diisi oleh dan dipimpin orang-orang yang melampaui batas atau minimal merestui orang lain utk melampaui batas. Padahal mereka yg suka melampaui batas itu sesungguhnya dibenci oleh Allah SWT…

NB: saya tidak mengenal secara pribadi tim peneliti susu formula di IPB ini, tetapi sebagai sesama dosen-peneliti di IPB yang malang-melintang di dunia riset ilmiah, saya bisa menduga beratnya tekanan psikologis yang dihadapi oleh tim peneliti tersebut dengan pemberitaan berlebihan ini.

Salam,

Arya Hadi Dharmawan

Bogor 20.02.2011


sumber : http://ahnku.wordpress.com